Tugas Bahasa Indonesia kelas XI SMA Hal 88-91 Hafalah Sholat Delisa

 Tugas Bahasa Indonesia kelas XI SMA Hal 88-91 Hafalah Sholat Delisa







Tugas Bahasa Indonesia kelas XI SMA Hal 88-91 Hafalah Sholat Delisa









Hal 88-91

No
Struktu teks “ belajar ikhlas dari “ Hafalah Sholat Delisa”
1
Orientasi :
Pagi hari dalam sebuah ruang sekolah di Lhok Nga, desa kecil di Pantai
Aceh, pada 26 Desember 2004, Delisa (Chantiq Schagerl) berupaya khusyu
menjalankan praktik shalat di depan Ustad Rahman dan Ustazah Nur yang
mengujinya. Ibunya, Ummi Salamah (Nirina Zubir), bersama beberapa ibu
lainnya menyaksikan dari luar jendela. Ucapan Sang Ustad sebelumnya agar
dia tetap fokus pada shalat meski apapun yang terjadi di sekelilingnya benarbenar
ditaati gadis kecil itu. Termasuk juga gempa yang mengguncang dan
plafon atap mulai berjatuhan. Bahkan ketika ustad Rahman dan guru penguji
lain lari keluar dan teriakan panik ibunya tidak membuatnya beranjak. Dia tetap
membaca doa shalat yang dihafalnya. Air bah tsunami pun meluluhlantakkan
tempat itu dan menenggelamkan Delisa.
2
Tafsiran:
Scene yang dahsyat dari film “Hafalan Shalat Delisa”—jangan bandingkan
dengan teknologi 3D film Amerika untuk mendeskripsikan tsunami tersebut—
membuat saya terhenyak. Seandainya saja saya yang shalat pada saat terjadi
bencana, apakah saya akan lari atau tetap shalat dengan risiko mati dalam keadaan shalat sulit dibayangkan. Film berlatar belakang bencana tsunami
yang melanda Aceh dan berbagai tempat di Asia Tenggara ini menewaskan
ratusan ribu jiwa dan meninggalkan duka yang mendalam.

 Film ini dibuka dengan beberapa adegan manis dua hari sebelum malapetaka itu.
Delisa tinggal bersama Ummi dan tiga kakaknya, Fatimah (Ghina Salsabila), dan
si kembar Aisyah (Reska Tania Apriadi) dan Zahra (Riska Tania Apriadi). Abi
Usman, ayahnya (Reza Rahadian), bekerja di sebuah kapal tangker asing nun jauh
dari tempat tinggal mereka. Delisa digambarkan sulit melakukan hafalan shalat,
dibangunkan shalat subuh juga susah. Umminya sampai menjanjikan sebuah
kalung berhuruf D yang dibeli dari toko milik Koh Acan (dimainkan dengan
menarik oleh Joe P Project), jika Delisa lulus ujian praktik shalat. Seperti anakanak
kecil umumnya, Delisa senang bermain. Dia ingin belajar bersepeda dari
Tiur dan bermain bola dengan Umam. Saya suka dengan akting Nirina Zubir
yang mampu menghidupkan spontanitas seorang ibu ketika Aisyah cemburu
pada Delisa atau Delisa sedang sedih. Ia juga menjadi imam ketika shalat bersama
putri-putrinya. Awalnya akting anak-anak ini agak kaku, namun Nirina mampu
membuat suasana hidup. Segmen ini milik Nirina.

Setelah tsunami menghantam, Delisa diselamatkan seorangranger (tentara)
Amerika Serikat bernama Smith (Mike Lewis). Sayang, kaki Delisa harus
diamputasi. Dia juga dikenalkan dengan Sophie, relawan asing lainnya yang
bersimpati pada Delisa. Delisa tahu bahwa ketiga kakaknya sudah pergi ke
surga, juga Tiur dan ibunya, serta ustazah Nur. Semua digambarkan dengan
surealis melintas sebuah gerbang di lepas pantai menunju negeri dengan mesjid
yang indah. Namun keberadaan ibunya masih misteri. Melihat keadannya,
Smith ingin mengadopsi Delisa. Lelaki itu ingat putrinya yang mati dalam
kecelakaan bersama ibunya. Namun kemudian ayahnya datang. Dia kemudian
harus membangun hidupnya kembali bersama putrinya sebagai single parent.

“Hafalan Shalat Delisa”tidak terjebak dengan melodrama yang klise. Ada
kesedihan yang membuat air mata keluar, tetapi hidup tetap harus berjalan.
Delisa dengan kaki satu berupaya tegar, termasuk juga membangkitkan
semangat Umam yang remuk dengan bermain bola. Gadis ini juga memberi
inspirasi pada ustad Rahman yang sempat patah semangat. Percakapan ustad
Rahman dengan Sophie di kamp pengungsi menjadi adegan menyentuh
lainnya. “Mengapa Allah menurunkan bencana ini?” Kira-kira demikian
keluhan ustad itu. Sophie menjawab, “Coba tanya Delisa. Dia kehilangan tiga
kakaknya, ibunya, sebelah kakinya, tetapi dia ingin bermain bola.”

 Pada segmen ini, akting Chantiq Schagerl memukau. Aktingnya mengingatkan
pada Gina Novalista dalam “Mirror Never Lies” yang menjadi nominasi
artis terbaik FFI 2011. Dia mampu mengimbangi akting Reza Rahadian
yang memang gemilang sebagai seorang ayah yang sempat remuk hatinya.
Scene ketika ayahnya membawa Delisa di reruntuhan rumah mereka sangat menggigit. “Abi akan bangun rumah kita lagi!” dengan tegas ayahnya berkata.
Adegan ketika Usman gagal membuat nasi goreng yang seenak buatan Ummi
juga menarik. Betapa susahnya menjadi single parent bagi seorang laki-laki.
Termasuk ketika air mata saya tidak bisa dibendung lagi melihat adegan Delisa
memeluk ayahnya, “Delisa cinta Abi karena Allah!”

Kehadiran Koh Acan juga menghidupkan suasana. Hal ini merupakan human
interest dalam film ini. Ketika dia menawarkan bakmi buatannya pada Delisa di
kamp pengungsian memberikan kesegaran. Begitu juga dia menengok Delisa
yang sakit karena kehujanan. Tentunya membawakan bakmi kesukaannya.
3
Evaluasi :
Film ini menuju sebuahending apakah umminya selamat atau setidaknya
ditemukan tubuhnya. Hal ini juga begitu menggetarkan. Namun, apapun itu
Delisa digambarkan sebagai sosok yang ikhlas. Tentunya dia juga bertekad
menuaikan janjinya menyelesaikan hafalan shalatnya. “Delisa shalat bukan
demi kalung, tetapi ingin shalat yang benar.
4
Rangkuman :
Film yang diangkat dari novel laris karya Tere Liye ini merupakan film akhir
tahun dan sekaligus juga film menyambut awal tahun 2012 yang manis. Cocok
diputar untuk menyambut peringatan tsunami sekaligus juga hari ibu.

No
Struktu teks “ Gara-Gara Kemben, film “gending Sriwijaya’ diprotes budayawan ”
1
Orientasi :
“Apa orang-orang itu tidak punya seorang ibu yang setidak-tidaknya pernah
memperkenalkan kasih sayang, kelembutan cinta....”
“Apa kamu pikir orang-orang itu dilahirkan oleh seorang ibu?”
“Apa mereka lahir dari batu?”
“Mereka dilahirkan oleh rahim kekejaman.”

Dialog itu diucapkan tokoh Ibu dan Bapak yang diperankan Niniek L. Karim
dan Landung Simatupang dalam drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?”
Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” ditulis dan disutradarai oleh Seno
Gumira Ajidarma. Banyak penonton berkaca-kaca matanya menyaksikan pementasan drama sepanjang 75 menit itu, yang selama itu pula suasana
dicekam oleh kepiawaian akting dua aktor andal itu, yang satu dari Jakarta
dan satu lagi dari Yogyakarta..
2
Tafsiran:
Drama ini dipentaskan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM),
Jakarta, 6—8 Agustus 2001, dan setelah itu digelar di Societeit, Taman Budaya,
Yogyakarta, 16—18 Agustus. Pertunjukan diproduksi oleh Perkumpulan Seni
Indonesia bekerja sama dengan Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan).

Panggung diisi oleh garapan artistik dari tokoh yang juga jarang muncul,
yakni Chalid Arifin, lulusan Institut Des Hautes Etudes Cinematographiques,
Perancis. Suasananya serba minimalis, sampai ke tata lampu maupun garapan
musik oleh Tony Prabowo yang dimainkan oleh Budi Winarto dengan saksofon
soprannya.

Drama tersebut diilhami oleh peristiwa penculikan aktivis di era Orde Baru-
Soeharto. Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” berwujud obrolan antara
tokoh suami dan istri yang anaknya diculik dan belum kembali. Obrolan terjadi
menjelang tengah malam. Bapak mengenakan sarung dan berkaus oblong,
sedangkan Ibu bergaun panjang.

Kalau dilihat secara sederhana, obrolan terbagi dua fase: fase pertama
menyangkut tindak kekejaman secara umum yang dilakukan oleh tentara,
fase kedua memfokuskan pada kehidupan Ibu-Bapak itu, yang anaknya, Satria
(diperankan oleh korban penculikan yang sebenarnya, aktivis Solidaritas
Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, Nezar Patria) hilang diculik penguasa.

Berlatarkan pada situasi politik sekarang yang cenderung ingin melupakan
korban-korban penculikan yang sampai kini tak ketahuan rimbanya, drama
ini serentak menemukan relevansi sosialnya. Dengan langsung menunjuk
peristiwa-peristiwa kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia termasuk
pada tahun 1965, drama ini sendiri lalu seperti berada di wilayah “kesenian
kontemporer” dengan sifat khasnya: meleburnya batas antara kesenian dan
kehidupan nyata; antara ruang pribadi dan ruang publik; dan seterusnya. Apa
yang dialami si Ibu-Bapak Niniek dan Simatupang, adalah juga pengalaman
sehari-hari sekian orangtua yang kehilangan anak-anaknya, anak yang
kehilangan bapaknya, diculik oleh genderuwo penguasa politik.

“Ini hanya sebuah kopi dramatik dari peristiwa yang sebenarnya,” kata
Seno Gumira. Seno sendiri yang lebih dikenal khalayak sebagai penulis
cerpen sebenarnya juga pernah menggauli penulisan naskah drama. Ia
pernah bergabung dengan Teater Alam, Yogyakarta, pimpinan Azwar A.N.
pada pertengahan 1970-an. Ia pernah menggelar drama karyanya berjudul
“Pertunjukan Segera Dimulai” pada 1976. Belakangan, ia mementaskan
“Tumirah Sang Mucikari” (1998) yang diilhami oleh huru-hara politik di
Tanah Air.

“Mengapa Kau Culik Anak Kami?” sendiri, dari segi naskah dan strategi
pementasan, boleh jadi oleh penulis dan sutradaranya tidak langsung
diparadigmakan dalam gagasan-gagasan yang mendasari peleburan batas
kesenian dan kehidupan seperti diwacanakan oleh seni kontemporer. Suasana
penantian, misalnya, mungkin masih seperti mengacu pada “modernisme”
Becket, taruhlah dalamWaiting for Godot..
3
Evaluasi :
Namun, para pendukung, katakanlah Niniek, Simatupang, serta tidak
ketinggalan penata musik, Tony Prabowo, dengan kematangannya telah
menjembatani apa yang bisa dicapai naskah tersebut dengan publiknya. Ini
masih didukung adegan sekilas yang menjadi penting, ketika Nezar Patria
tiba-tiba muncul di panggung beberapa detik. Sementara saksofon yang
melengkingkan blues oleh Budi Winarto yang menandai pergantian babak,
setiap saat menggarisbawahi, betapa pahit dan mengenaskan sebetulnya hidup
di republik ini. Itulah yang membuat hati banyak orang teriris dan sebagian
menjadi sembab matanya ketika keluar dari gedung pertunjukan..
4
Rangkuman :
Di panggung, Niniek berujar, “Sudah setahun lebih. Setiap malam aku
berdoa mengharapkan keselamatan Satria, hidup atau mati. Aku hanya ingin
kejelasan....” Sementara Simatupang berdiri, maju ke ujung panggung dan
bermonolog, “Mengapa kau culik anak kami? Apa bisa pertanyaan ini dijawab
oleh seseorang yang merasa memberi perintah menculiknya?” Pertanyaan itu
belum terjawab di atas pentas. Juga di luar pentas

No
Struktu teks “’ Mengapa Kau Culik Anak Kami ?’ Pertanyaan Itu Belum Terjawab”
1
Orientasi :
Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai
kontroversi. Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumatera Selatan
protes karena menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan
Sriwijaya. Pakaian songket dan kemben yang dikenakan bintang film itu
juga dianggap keliru. “Harus direvisi sebelum ditayangkan karena bisa jadi
pembiasan sejarah,” tegas Kepala Balai Arkeologi Palembang, Nurhadi
Rangkuti, Minggu (21/10/2012)..
2
Tafsiran:
Film Gending Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerja sama dengan
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menggunakan dana APBD senilai
Rp11 miliar. Dalam anggaran disebutkan film yang akan dibuat berjenis film
dokumenter. Setelah selesai film ini dikelola Badan Aset Daerah. Tender film
dimenangi Putar Productionpada April 2012. Ini kerja sama kedua setelah
film “Mengejar Angin”.

 Nurhadi menilai kelemahan film Gending Sriwijaya terletak pada cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja (dalam film disebut Raja Dapunta Hyang Srijayanasa. Nama Dapunta Hyang terukir di Prasasti Kedukan Bukit, 864 Masehi). Menurut Nurhadi, dalam sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak pernah terjadi pertentangan. Kehancuran Sriwijaya yang pernah menjadi kerajaan maritim terbesar di Nusantara disebabkan faktor eksternal, tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan tampuk kekuasaan di antara keturunan raja.

 “Pertentangan dan kehancuran kerajaan diriwayatkan terjadi karena ada
serangan dari luar kerajaan,” tegas Nurhadi. Ketua Yayasan Kebudayaan
Tandipulau, Erwan Suryanegara, protes lebih keras. “Saya berani pasang leher
untuk menentang film ini,” katanya.

 Budayawan yang mendapat Magister Seni Rupa dan Desain dari Institut Teknologi Bandung ini mengatakan, kisah yang diceritakan terkesan mengadaada karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan Sriwijaya. Dua hal ini merupakan objek yang berbeda. Gending Sriwijaya merupakan nama tarian yang diciptakan pada tahun 1943 ketika zaman penjajahan Jepang sebagai tarian penyambut petinggi Jepang ketika itu. Tari ini diciptakan Sukainah Arozak, syair diciptakan A. Muhibat. Sementara Kerajaan Sriwijaya dikisahkan dalam sejarah mengalami kejayaan pada abad ke-7 hingga ke-13 masehi. “Dua hal ini merupakan kisah yang berbeda, tidak dapat disatukan. Selisih waktu di antara keduanya jauh, berabad-abad,” jelasnya..
3
Evaluasi :
Erwin mempermasalahkan riset yang dilakukan sutradara dan penulis skenario
film karena menurutnya film ini tidak didukung riset yang cukup akan
latar belakang sejarah Sriwijaya. Kekeliruan riset juga ditunjukkan dengan
kostum yang dikenakan para pemain tidak sesuai pada masanya. Para pemain
mengenakan pakaian yang tidak bercirikan pakaian Melayu ketika itu. “Kemben
yang digunakan itu bukan pakaian sehari-hari masyarakat ketika itu. Bagi
kami, pakaian itu merupakan pakaian khusus untuk ke sungai jika hendak
mandi,” ungkap budayawan yang juga menjadi pengajar di Palembang ini..
4
Rangkuman :
Sama seperti Nurhadi, perebutan kekuasaan antara kedua anak raja kerajaan
yang diceritakan dalam film ini juga dipertanyakan Erwin. Sinopsis film
Gending Sriwijaya mengisahkan perebutan tahta kerajaan antara dua orang
anak Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa (diperankan Slamet Rahardjo), yakni
Awang Kencana (Agus Kuntjoro) dan Purnama Kelana (Syahrul Gunawan).
“Tidak ada sejarah yang mengisahkan perebutan kekuasaan oleh dua anak raja
Kerajaan Sriwijaya,” tegasnya.

No
Judul teks ulasan
kelebihan
kekurangan
Jalan keluar

1
“ belajar ikhlas dari “ Hafalah Sholat Delisa”
a) Scene yang dahsyat dari film “Hafalan Shalat Delisa”
b) akting Nirina Zubir
yang mampu menghidupkan spontanitas seorang ibu
a) Penggambaran
tsunami tidak
maksimal
b) akting anak-anak ini agak kaku
a) jangan bandingkan
dengan teknologi 3D film Amerika untuk mendeskripsikan tsunami tersebut_____________
b) Awalnya akting anak-anak ini agak kaku, namun Nirina mampu
membuat suasana hidup. Segmen ini milik Nirina

2
“ Gara-Gara Kemben, film “gending Sriwijaya’ diprotes budayawan ”
a) Tender film dimenangi Putar Production pada April 2012. Ini kerja sama kedua setelah film “Mengejar Angin”.
b) menjelaskan cerita tentang kerajaan.
c) kisahnya mengingat tentang sejarah.
a) Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai
kontroversi. Sejumlah budayawan dan peneliti sejarah di Sumatera Selatan
protes karena menilai alur cerita (plot) film menyimpang dari sejarah Kerajaan
Sriwijaya.
b) kelemahan film Gending Sriwijaya terletak pada cerita
pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja
c) kisah yang diceritakan terkesan mengadaada
karena menggabungkan Gending Sriwijaya dengan cerita Kerajaan
Sriwijaya.
d) _____________
e) _____________
a) Harus ada
revisi sebelum
ditayangkan
b) sejarah Kerajaan Sriwijaya tidak
pernah terjadi pertentangan.
c) perlu adanya pengetahuan tetntang sejarah terlebih dahulu sebelum membuatnya.

3
“’ Mengapa Kau Culik Anak Kami ?’ Pertanyaan Itu Belum Terjawab”
a) Banyak
penonton
berkaca-kaca
menyaksikannya
b) _____________
c) _____________
d) _____________
e)______________
a) _____________
b) _____________
c) _____________
d) _____________
e) ____________
a) _____________
b) ____________
c) _____________
d) _____________
e) _____________


No
Kalimat
Benar
Salah
1
Scene yang dahsyat dari film “Hafalan Shalat Delisa” membuat saya  terhenyak.
ü   

2
Aktingnya mengingatkan pada Gina Novalista dalam Mirror Never Lies yang menjadi nominasi artis terbaik FFI 2011.

ü   
3
Drama “Mengapa Kau Culik Anak Kami?” ditulis dan disutradarai oleh Seno Gumira Ajidarma.
ü   

4
Ia pernah menggelar drama karyanya berjudul Pertunjukan Segera Dimulaipada 1976.
ü   

5
Belakangan, ia mementaskan “Tumirah Sang Mucikari” (1998) yang diilhami oleh huru-hara politik di Tanah Air.
ü   

6
Film Gending Sriwijaya yang disutradarai Hanung Bramantyo menuai kontroversi.
ü   

7
 Ini kerja sama kedua setelah film “Mengejar Angin”.
ü   

8
Film Gending Sriwijaya digarap Hanung Bramantyo bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menggunakan dana APBD.
ü   

9
Film “Hafalan Shalat Delisa” diangkat dari novel yang berjudul sama,Hafalan Shalat Delisa.
ü   

10
Nurhadi menilai kelemahan film “Gending Sriwijaya” terletak pada cerita pertentangan dan perebutan tahta oleh dua anak raja
ü   



Previous
Next Post »